Hanya seorang diri ia berdiri di pinggir jalan saat penulis mencoba
untuk menghampirinya pada selasa malam itu. Dengan memakai baju berwana
merah dan hanya disinari oleh keremangan lampu jalan, tanpa kendala apa
transaksi soal harga berjalan lancar tanpa menemui jalan buntu karena ia
pun langsung mengiyakan untuk ikut bersama dengan penulis ketika
penulis mengajaknya untuk pergi.
Sesampainya di hotel kelas “melati” yang terletak tak jauh dari
jembatan Jatinegara dan pinggiran rel kerata api ini, terlihat setiap
penjaga hotel maupun satpam di hotel kelas melati itu terlihat akrab
bercengkrama dengannya. Pemandangan yang lumrah karena setiap kali ia
berkencan dengan tamunya, hotel ini menjadi pilihan utamanya. Celotehan
canda terdengar ketika ia bergurau dengan salah satu petugas hotel. Ia
menawarkan kerja di hotel dengan gaji 1.5 juta kepada petugas hotel
tersebut, tetapi kerjanya itu di hotel Marriot menemani bom. Mereka pun
tertawa dan penulis hanya bisa tersenyum mendengar celotahannya itu.
Mia (27 tahun) sebuah nama yang memang sesuai dengan nama yang
tertera di KTP-nya karena ia menunjukkan sendiri KTP yang dia miliki.”
KTP ini baru saja saya perbarui” kata dia sembari menyerahkan KTP itu
kepada penulis. Ia merupakan salah seorang dari segelintir PSK yang
mengadu nasib di perempatan daerah Jatinegara. PSK ini banyak menuturkan
kisahnya yang getir sekaligus lucu dalam hidupnya. Wanita yang sudah
bekerja mengarungi bahtera kehidupan malam di pinggiran jalan lebih dari
tahun ini berkata bahwa ia terjerumus dalam lingkungan prostitusi
lantaran sering dikecawakan oleh keluarga yang tidak berpihak kepadanya.
Hidup baginya memang tidak adil. Seribu satu problema menjadi hiasan
hidupnya dan kata bahagia seperti mutiara yang tidak bisa ia miliki.
Dikucilkan oleh orang tua, dicabuli oleh saudaranya sendiri, disakiti
oleh ibu tirinya dan akhirnya ia memutuskan untuk lari dan mengambil
jalan singkat walaupun hina menjadi seorang pekerja seks komersial
jalanan. Tanpa rasa peduli karena tersakiti ia tak merasa malu apabila
ada anggota keluarga melihatnya nongkrong di jalanan mengingat rumah
keluarga berada di daerah Cipinang, tidak terlalu jauh dengan lokasinya
mangkal. “ Biarin aja kalo ada dari mereka yang lihat saya disini”
ungkap wanita yang mengaku belum pernah menikah ini. Ia mengatakan hanya
mangkal bersama beberapa temannya ketika matahari telah membenamkan
sinar dan menghentikan langkahnya untuk kembali ke kostnya setelah dini
hari tiba. “Saya disini tidak pernah sampai pagi, capek” ungkap dia.
Ia memasang harga secara relatif dan besarnya tarifnya itu terjangkau
bagi para hidung belang yang kantongnya tidak terlalu tebal. Tarifnya
itu berkisar RP. 200.000 sampai dengan Rp. 150.000 untuk sekali kencan
dengan waktu 2 jam tergantung dari negosiasi. Tapi tak jarang pula
tamunya itu memberi uang berlebih kepadanya. Rezeki memang tidak kemana
karena dengan hanya berdiri diperempatan jatinegara pun ia bisa
mendapatkan tamu 4-5 dalam waktu semalam. Bisa dibayangkan betapa banyak
rupiah yang masuk ke dalam kantongnya.
Terkadang bergelimang dosa yang dia rasa seiring dengan membludaknya
rezeki yang di terima. Ia bercerita pernah ada seoarang pria hidung
belang memberinya uang yang berlimpah. “Pernah ada tamu yang memberi
saya uang satu juta” ungkap dia. Dan ia pun tidak menyangka tamunya itu
memberi uang yang cukup besar kepadanya. Kejutan-demi kejutan pernah
dirasakan “ Pernah juga ada yang mau menukarkan Hpnya demi untuk
berkencan dengan saya” kata dia.
Menjadi lelucon yang menggelitik ketika ia berbicara mengenai beragam
tamu yang pernah berkecan dengannya. Mulai dari seoarang yang alim,
aparat berwenang, mahasiswa, orang yang bejat yang menuduhnya sebagai
penjahat sampai dengan orang yang tergila-gila pernah ia kencani. Nafsu
birahi memang tidak pandang bulu, pernah juga ia berkencan dengan
seorang yang menurutnya tidak biasanya, pasalnya tamu yang berkecan
dengannya hanya menggunakan sarung dan berbaju koko seperti habis pulang
dari masjid. “Aneh sekali orang itu saya juga gak habis pikir” kata
dia. Memang tak ada yang bisa mengelak saat nafsu sudah sampai ujung
rambut. “Pernah ada tamu yang ingin sekali berkencan dengan saya dan
rela menunggu lama saat saya lagi kencan dengan tamu lain” ungkap dia.
“Padahal teman saya yang berdiri di sampingnya itu lebih cantik dan
putih” sambung dia. Ia mengatakan tamunya itu hanya menyukai dirinya
bukan temannya.
Kejamnya ibu kota daripada ibu tiri seakan-akan benar adanya dan
berlaku bagi wanita yang tinggal di rumah kost-kostan di wilayah Buaran
tepatnya dibelakang bioskop di Jakarta Timur. Hal ini terjadi ketika
salah satu tamunya berbuat nakal terhadapnya. Tuduhan sebagai pencopet
pernah ia rasakan ketika salah seorang tamunya mengajak untuk berkencan
di salah satu hotel. Setelah ia berkencan dan diantar pulang oleh
tamunya, namun di tengah perjalanan ke tampat mangkalnya bukannya ia
mendapat untung malahan dituduh sebagai pencopet. oleh tamunya. “Saya
kerja bukan pencopet, kalau tidak percaya periksa dompet saya dan kita
sama-sama pergi ke kantor polisi “ kata dia . Tamunya tersebut ungkap
dia mengurungkan niatnya untuk bersama-sama pergi ke kantor polisi
karena merasa tipuannya itu tidak berhasil. “Malahan dia nggak bayar, ya
udah saya terima perlakuannya daripada panjang persoalan” sambung dia.
Dikejar-kejar aparat tramtib menjadi pengalaman yang biasa baginya,
selama ia bekerja sudah beberapa kali diciduk oleh pihak keamanan.
Pernah suatu ketika ada razia kepolisian di hotel, ia dan tamunya sedang
berkencan di salah satu kamar hotel tersebut. Tanpa disangka dan memang
suatu penggrebekan yang terencana, seorang tramtib menendang pintu
kamarnya ketika ia sedang mempraktekkan salah satu gaya bercinta.
Digelandanglah meraka berdua ke kantor polisi. Ia mengatakan petugas
Tramtib yang mendobrak pintunya merasa beruntung karena ia bisa
mendapatkan tontotan gratis walaupun singkat orang sedang bersenggama.
“Sialan itu tramtib ngambil kesempatan dalam kesempitan” kata dia
diiringi dengan tawa.
Pengalaman ketika diliput oleh seorang wartawan juga pernah ia
rasakan, ia merasa marah dan terhina ketika sang wartawan itu mengambil
foto dirinya. Kata-kata sindirin pun meluncur dari mulutnya ”Memangnya
saya kriminal main ambil foto saya “ kata dia dengan nada marah di
hadapan penulis. Wartawan foto itu pun tidak berkutit mendengar
perkataannya. Pernah juga suatu ketika dalam suatu penggrebekan polisi
yang didalamnya juga terdapat wartawan wanita dan pria. Dengan nada
mengintrogasi wartawan wanita itu bertanya alasan kenapa ia menjadi
seoarang PSK, ia pun menjawab dengan jujur pertanyaannya itu. Namun
wartawan wanita itu merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan
kepadanya dan terus menyakan hal-hal yang membuatnya jenuh, lantas ia
menimpali balik pertanyannya itu dengan perkataan” Mbak lebih beruntung
daripada saya, coba mbak hidupnya seperti saya” kata dia dan sekali lagi
wartawan wanita itu pun tidak berkutik.
Sesekali ia menghisap sebatang rokok di tangannya, sempat ia berpikir
untuk bertobat dan menjadi seoarng muslimah yang baik. Menjadi seorang
wanita berkerudung pun ia pernah jalani walaupun sesaat Dandanan pun
berubah tidak sebinal ketika ia kerja di jalan. Namun entah dan ada
setan apa yang merasukinya, ia pun kembali lagi ke jalan yang tidak
diridhoi oleh yang Maha Kuasa dan menerbos kedinginan malam menjadi
seorang PSK kembali.
Tak ada satu pun PSK yang mau terus hidup dengan status kerja yang
dipikulnya, alhasil Ia pun mempunyai rencana mulia di masa depan.
Berharap dengan menyisihkan uang hasil keringatnya untuk ditabung dan
akan berusaha berhenti saat lebaran besok tiba, ia mencoba untuk
berubah. Lebih baik bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga
daripada harus memasang badan setiap malam seperti yang dia akui ketika
ditanya mengenai rencana untuk masa depannya.
Sesekali ia merebahkan ke tempat tidur dan perbincanan pun berlanjut
sampai dengan permasalahan nasional. Ledakan bom JW Marrtiot dan Ritz
Carlton (17/7) yang baru saja terjadi di Jakarta menjadi topik yang
menarik baginya. Ia pun heran kenapa ada orang yang mengorbankan
nyawanya dengan meledakkan diri. Soal berapa jumlah orang yang menjadi
martir itu ia pun ketahui dengan jelas, maklum ia mengaku mengikuti
setiap perkembangan berita yang ada melalui koran dan televisi.
Satu jam lewat tidak terasa hari pun semakin malam. Perbincangan ini
pun diakhiri ”Catat aja mas semuanya, jangan-jangan direkam lagi,”
ungkap dia dengan curiga di hadapan penulis. Bagaimana dengan harga
parkir di luar tanya penulis, “Jangan banyak-banyak memberi uang parkir”
kata dia dan ia pun menukarkan uang Rp. 10.000 yang penulis miliki ke
resepsionis. Saat ditanya apakah dia mau diantar ke tempatnya mangkal,
ia pun menolak dan memilih untuk naik ojek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar